Gak bisa dipungkiri kalau era media sosial memberikan banyak dampak positif. Di era ini, kamu bisa terhubung dengan orang lain tanpa harus mikirin jarak. Dari segi bisnis, hal ini juga sangat menguntungkan. Sayangnya, ada beberapa tren negatif yang lahir di era ini, salah satunya adalah flexing culture.
Jika dilihat tanpa kacamata “etika”, sebenarnya budaya flexing sangat menguntungkan bagi suatu bisnis. Pasalnya, karena harus pamer di media sosial, masyarakat cenderung lebih konsumtif. Artinya, ada lebih banyak celah yang bisa kamu gunakan untuk meningkatkan sales di sini.
But, we are human first before businessmen/businesswomen, aren’t we? Berbisnis tanpa etika hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Karena itu, kamu bisa mencari alternatif pemasaran lain yang lebih etis dan sustainable tanpa harus mendekati bahaya flexing culture.
Fenomena Flexing Culture di Era Digital
Buddies, kamu tahu gak apa itu flexing culture? Ini merupakan slang yang berasal dari kelompok Afro Amerika di tahun 90-an. Singkatnya, flexing adalah perilaku yang menunjukkan bahwa kamu bangga dengan apa yang kamu capai atau miliki. Tapi, terkesan pamer dan annoying.[1]
Budaya ini semakin terlihat ketika popularitas media sosial meningkat. Pasalnya, orang-orang mulai punya wadah yang tepat untuk pamer. Bayangkan saja, dalam sekali post, kamu bisa pamer ke 139 juta pengguna medsos di Indonesia.[2] Ini belum termasuk pengguna di seluruh dunia, lho ya.
Jika ditilik dari segi psikologi, tujuan flexing adalah untuk membuktikan diri bahwa mereka lebih superior dari orang lain.[3] Mereka ingin terlihat “wah”, attractive, dan menunjukkan bahwa mereka ada di tingkatan sosial teratas. Hal yang biasa dibanggakan bisa berupa uang, barang mewah, dan lain sebagainya.
Ada banyak platform yang bisa kamu gunakan untuk melihat budaya flexing, namun yang paling sering adalah di TikTok dan Instagram. Bahkan, ada banyak orang yang berubah menjadi selebriti medsos karenanya. Kamu mungkin sudah mengenalnya dengan istilah selebgram dan selebtok.
Sayangnya, indikator “terkenal karena flexing” ini membuatnya semakin toxic. Sebab, ada banyak orang yang ingin ikut pamer dengan tujuan ingin mendapatkan banyak likes, viral, dan terkenal. Ini adalah salah satu dampak negatif flexing culture yang gak terhindarkan.
Dampak Flexing Culture terhadap Perilaku Konsumen & Masyarakat
Kamu mungkin udah punya gambaran singkat tentang dampak flexing pada penjelasan di atas. Supaya Buddies lebih paham, berikut penjelasan lebih jauhnya!
1. Menimbulkan Sifat Konsumtif
Salah satu dampak yang paling jelas dari tren ini adalah menimbulkan sifat konsumtif. Akibatnya, orang lebih sering menghamburkan uang untuk membeli barang mewah tanpa pertimbangan matang. Bahkan, ada yang rela ngutang ke teman atau keluarga, ambil pinjaman online, dan lain sebagainya.
Karena melihat orang flexing di media sosial dan mendapatkan banyak pujian, tidak jarang hal ini mendorong seseorang untuk belanja di luar kemampuan. Hal ini bisa membahayakan kehidupan mereka di masa depan.
2. Sumber Masalah Mental
Selain berdampak pada perilaku konsumen, budaya ini juga sangat berpengaruh pada masyarakat secara keseluruhan. Pasalnya, tren ini bisa menjadi sumber masalah mental, mulai dari kehilangan jati diri, anxiety atau gangguan kecemasan, hingga depresi.
Ketika melihat orang lain punya hal yang tidak kamu miliki, tidak jarang muncul rasa iri. Rasa iri ini bisa berkembang menjadi rasa rendah diri. Akibatnya, kamu akan mulai kehilangan percaya diri, sering merasa cemas tanpa alasan, dan lain sebagainya.
Hal ini juga berlaku jika posisi kamu adalah orang yang suka flexing. Akibatnya, hidup akan disetir oleh likes dan komentar orang lain. Jika jumlah likes dan komentar tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan, kesehatan mental juga bisa terdampak olehnya.
Strategi Alternatif untuk Brand: Membangun Nilai tanpa Flexingmeja
Mengingat semua dampak buruk budaya flexing, kamu pasti ingin menjadi pebisnis yang beretika kan, Buddies? Karena itu, ada beberapa alternatif pemasaran lain yang tidak berorientasi pada flex, seperti:
1. Value-Driven Marketing
Cara pemasaran pertama adalah dengan menitikberatkan pada value. Kamu bisa fokus ke storytelling. Pastikan brand identitas yang melekat dan punya cerita unik untuk dibagi dengan konsumen. Jangan lupa untuk mengutamakan kualitas, manfaat, dan pengalaman pelanggan.
2. Sustainable & Ethical Branding
Our planet is dying. Kamu mungkin sering mendengar kalimat ini, dan kalimat ini ada benarnya. Itulah alasan mengapa produk-produk yang menonjolkan sustainable-value sering sukses di pasaran. Selain menyoroti keberlanjutan, kamu pun bisa menonjolkan transparansi dan tanggung jawab sosial dalam pemasaran dengan ethical branding.
3. Authenticity & Community Building
Hindari pencitraan dan rangkul authenticity. Kamu bisa mendorong engagement berbasis value dan membangun komunitas berdasarkan hal itu. Percayalah jika cara marketing yang seperti ini akan jauh lebih baik daripada hanya sekadar flexing.
Jika kamu bingung harus memulai dari mana, maka memilih layanan digital marketing terbaik di BDD bisa jadi jawabannya. Layanan tersebut adalah:
- Digital Performance, untuk memaksimalkan potensi semua kanal digital agar performanya sesuai dengan apa yang kamu inginkan.
- Creative Performance, untuk menciptakan konten ber-value dan beresonansi dengan target audience yang unik.
Pastinya, kamu bisa menggunakan kedua layanan BDD tersebut sekaligus untuk menciptakan tren baru tanpa flexing culture. Jadi, tunggu apa lagi, Buddies? Ayo mulai bekerja sama dengan BDD sekarang juga!