Soft power dalam digital marketing modern kini jadi pembicaraan hangat di tengah persaingan yang makin ketat, serba data, dan penuh tekanan angka. Menariknya, justru pendekatan empati dan humanis—yang sering dibawa kepemimpinan perempuan—mulai terbukti lebih ngena.
Ini bukan soal siapa paling keras teriak, tapi siapa yang paling nyambung sama audiens. Yuk, kita kupas gimana soft power dalam digital marketing bisa jadi senjata rahasia buat bertahan dan menang di era digital yang super dinamis!
Soft Power vs Hard Tactics: Gaya Marketing yang Mulai Berubah
Dulu, dunia digital marketing sering banget didominasi hard tactics—iklan yang salesy, pushy, dan fokus ke hasil instan. Tapi sekarang, makin banyak brand beralih ke strategi empati dalam marketing yang bangun trust dan relevansi.
Pendekatan ini nggak cuma tentang jualan, tapi soal membangun koneksi yang genuine alias marketing berbasis relationship. Nggak heran, perempuan yang cenderung relationship-oriented jadi makin dominan di balik strategi ini. Forbes bahkan bilang, empati adalah masa depan marketing.
Buktinya? Studi dari Soocial nunjukin 70% konsumen lebih terdorong beli kalau emosinya tersentuh.[1] Contohnya, kampanye “Real Beauty” dari Dove yang sukses besar karena pakai cerita personal yang relate, ngasih ruang audiens merasa dipahami[2]—bukan sekadar ditawari produk. Dan ternyata, itu jauh lebih efektif dari sekadar hard selling.
Kekuatan Empati, Observasi, dan Storytelling dalam Strategi Perempuan
Buddies, nggak bisa dipungkiri, perempuan punya kecenderungan alami buat mengutamakan empati, kepekaan, dan kemampuan observasi dalam berkomunikasi. Bukan sekadar feeling, tapi modal kuat buat bikin strategi yang human-centered dan nyambung ke audiens.
Nggak heran kalau konten yang lahir dari pendekatan ini terasa lebih relate, engaging, dan tahan lama. Apalagi, perempuan sering jadi decision maker di rumah tangga maupun pasar, jadi lebih paham insight konsumen secara autentik.
Contohnya, kampanye Dream Crazier dari Nike yang sukses besar karena mengangkat perjuangan atlet perempuan, bikin engagement mereka naik 31%.[3] Atau, Help a Child Reach 5 dari Lifebuoy yang membangun awareness pentingnya cuci tangan- hasilnya, peningkatan awareness di India sampai 25%![4]
Ini adalah bukti nyata bahwa pendekatan humanis di digital marketing bukan cuma ngena di hati, tapi juga terbukti perform.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi: Cara Perempuan Membangun Tim & Komunitas
Salah satu kekuatan soft power untuk brand datang dari cara perempuan memimpin. Kenapa? Mereka nggak sekadar kompetitif, tapi membangun ekosistem yang inklusif, adaptif, dan supportive.
Di dunia digital, komunitas bukan alat bantu belaka, tapi udah jadi core strategy. Artinya, komunitas bukan tempat audiens kumpul-kumpul aja, tapi jadi sumber insight, loyalitas, bahkan penggerak pertumbuhan brand.
Kolaborasi, baik internal lewat tim yang saling dukung, maupun eksternal bareng audiens, jadi fondasi engagement jangka panjang. Buktinya, Duolingo sukses ngerangkul 300 juta pengguna dengan memanfaatkan forum dan komunitas sebagai sarana diskusi dan pengembangan kursus bareng audiens.[5]
Lewat pendekatan ini, hubungan brand dan pengguna terasa lebih autentik, kuat, dan bkin mereka nggak cuma sekadar jadi pembeli, tapi bagian dari brand journey juga.
Apa yang Bisa Diadaptasi oleh Brand & Tim Marketing?
Buddies, nggak semua brand harus dipimpin perempuan buat nerapin kekuatan soft powers. Tapi, siapa saja bisa banget mengadopsi gaya ini. Initinya, soft power itu bukan siapa yang mimpin, tapi bagaimana cara kita membangun koneksi yang empathetic, relevan, dan berdampak.
Nah, berikut adalah langkah konkret yang bisa langsung kamu eksekusi.
1. Bangun Framework Berbasis Empati
Framework yang solid memang penting, tapi yang bikin standout adalah saat kamu membangunnya dengan empati. Bukan sekadar yang mau brand bilang, tapi apa yang audiens rasakan juga. Hasilnya? Storytelling dalam pemasaran digital jadi lebih hidup dan nyambung.
2. Kembangkan Culture Listening dalam Tim
Seringkali, marketer terlalu sibuk ngomong dan lupa dengerin. Padahal, budaya listening justru jadi sumber ide yang relate. Bukan cuma riset, tapi peka sama obrolan audiens di media sosial atau komunitas. Dari sinilah storytelling jadi makin nyambung dengan audiens.
3. Fokus pada User-First, Bukan Brand-First
Buddies, audiens itu bukan target yang kamu suruh beli aja, tapi partner yang butuh didengar. Pendekatan user-first bikan brand jadi solusi nyata, bukan sekadar jualan. Kalau brand fokus ke kebutuhan, keresahan, dan harapan audiens, maka lebih ampuh bangun koneksi emosionalnya.
4. Validasi dengan Data
Tanpa data, empati bisa aja meleset jadi asumsi. Makanya, creative data dalam marketing penting buat validasi insight dari proses listening. Lewat A/B testing, heatmap, sampai social listening, kamu bisa pastiin konten atau storytelling beneran ngena ke audiens.
Bangun Strategi yang Lebih Empatik dan Berdampak
Pendekatan soft power di era digital yang kian padat dan kompetitif ini terbukti bukan gaya-gayaan aja. Perempuan berhasil nunjukin kalau empati, storytelling dan kemampuan membangun relasi adalah senjata yang bikin strategi lebih relevan dan impactful.
Kabar baiknya, pendekatan ini bisa banget kamu praktikkan, Buddies. Kalau kamu mau mulai implementasi, Boleh Dicoba Digital (BDD) siap jadi partner lewat layanan Creative Development, Content Strategy, Corporate Training, dan SEO.
Yuk, maksimalkan soft power dalam digital marketing biar campaign kamu nggak cuma keren, tapi juga hasilnya nyata.